[6:40 11/03/2017]
pencerahan, renungan
Sepanjang sejarah kita saksikan betapa mudahnya sebagian pihak mengkafirkan muslim lainnya. Seolah mereka tidak takut dengan ancaman dari penggalan Hadits Nabi ini:
وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
Berdasarkan prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam Hadits di atas, maka para ulama berhati-hati untuk menjatuhkan vonis kafir kepada sesama Muslim.
Qadhi Iyad yang bermazhab Maliki menulis kitab yang sangat terkenal, yaitu al-Syifa bi ta'rif huquq al-Musthafa. Beliau menukil pendapat para ulama:
ونقل القاضي عياض رحمه الله عن العلماء المحققين قولهم:
يجب الاحتراز من التكفير في أهل التأويل فإن استباحة دماء المصلين الموحدين خطر، والخطأ في ترك ألف كافر أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم واحد.
"Wajib menahan diri dari mengkafirkan para ahli ta'wil karena sungguh menghalalkan darah orang yang shalat dan bertauhid itu sebuah kekeliruan. Kesalahan dalam membiarkan seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa muslim."
Kitab al-Syifa di atas diberi syarh (penjelasan) salah satunya oleh al-Mulla Ali al-Qari al-Harawi yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:
قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى ابقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه وهو مستفاد من قوله عليه السلام ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه
Dari penjelasan di atas terlihat jelas kehati-hatian para ulama. Meskipun ada sekian banyak bukti yang mengarah pada kekafiran saudara kita, namun jikalau masih terlihat satu saja alasan untuk menetapkan keislamannya, para ulama memilih satu alasan tersebut dan menahan diri untuk mengkafirkan orang tersebut. Lebih baik kita keliru menyatakan dia tetap Islam ketimbang kita keliru mengatakan dia kafir. Lebih baik kita keliru memaafkan dia ketimbang kita keliru menghukum orang yang tak bersalah.
Dalam masalah pidana yang tidak punya konsekuensi mengeluarkan orang dari keimanannya saja perlu kita carikan alasan agar pelakunya terbebas dari hukuman, apalagi mengkafirkan orang yang jika salah memvonisnya, maka konsekuensi di dunia sangatlah berat seperti dibunuh jika tidak mau taubat, hilangnya hak waris, fasakh pernikahannya, apalagi konsekuensi di akherat.
Ucapan senada juga sudah disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang bermazhab Syafi'i dalam kitab al-Iqtishad fil i'tiqad
وقال أبو حامد الغزالي :
"والذي ينبغي الاحتراز منه :"التكفير" ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة، المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأٌ، والخطأ في ترك ألفِ كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دمٍ لمسلم"
Rasulullah SAW juga bersabda: "tiga perkara yang merupakan dasar keimanan: menahan diri dari orang yang mengucapkan La Ilaha illallah, tidak mengkafirkannya karena suatu dosa, dan tidak mengeluarkannya dari keislaman karena sebuah amalan..." (HR Abu Dawud, nomor 2170)
Dibalik ucapan mengkafirkan orang lain itu sebenarnya tersembunyi perasaan bahwa saya lebih baik dari dia; saya lebih islami, lebih suci, dan lebih benar serta akan masuk surga ketimbang dia. Persoalannya darimana kita tahu bahwa amalan ibadah kita "yang banyak sekali itu" pasti diterima Allah dan dosa mereka "yang begitu banyak itu" tidak akan Allah ampuni?
Saya tidak tahu nasib saya kelak, bagaimana saya bisa begitu yakin dengan nasib orang lain. Anda pun juga demikian. Ini merupakan hak prerogatif Allah. Jangan sampai kita justru jatuh pada kesyirikan karena merasa dan bertindak seperti Allah yang menentukan keimanan orang lain. Semoga Allah mengampuni kita semua.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
[10:28 11/03/2017] +62 812-2925-0980: 👍👍 Gak salah tanya ustadz Ridwan. Penjelasannya 👍 Kita tunggu uraian terakhinya ..nanti.